Titik Gempa Palu, 28 September 2018
Ditulis oleh: Admin
Secara geologis, Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik dunia yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia rawan terhadap gempa bumi tektonik dan letusan gunungapi.
Bock (2003), dalam Pakpahan (2015), mengungkapkan, Lempeng Indo-Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 50-70 mm/tahun dan menunjam di bawah palung Sumatera – Jawa yang membentang sampai ke barat Pulau Timor di NTT. Dari sisi timur Lempeng Pasifik menabrak sisi utara Pulau Papua dan pulau-pulau di utara Maluku dengan kecepatan 120 mm/tahun.
Tekanan pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut berperan dalam perkembangan tektonik di Pulau Sulawesi dan sekitarnya. Perkembangan itu melahirkan sejumlah patahan atau sesar serta gunungapi di pulau tersebut.
Sesar yang paling terkenal di pulau ini adalah sesar Palu Koro yang memanjang lebih dari 240 km dari utara di Kota Palu ke selatan di Kota Malili hingga ke Teluk Bone. Sesar Palu Koro merupakan sesar aktif dengan kecepatan gerak sekitar 25-30 mm/tahun. Sesar Palu Koro berhubungan dengan Sesar Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedangkan di ujung utara melalui selat Makassar berpotongan dengan zona subduksi lempeng Laut Sulawesi (Kaharuddin dkk, 2011 dalam Pakpahan dkk, 2015).
Pergerakan sesar-sesar di Sulawesi kemudian menyebabkan gempa bumi di sejumlah lokasi. Bencana gempa bumi berkekuatan besar yang erjadi di Palu pada tanggal 28 September 2018, menjadi pengingat bahwa di wilayah ini ada ancaman bencana yang dapat menimbulkan kerugian besar jika diabaikan.
Kejadian gempa bumi di Palu pada 28 September 2018 menelan 4.845 korban jiwa dan memaksa 172.999 orang mengungsi. Sebanyak 110.214 unit rumah mengalami kerusakan. Efek gempa itu dahsyat mengingat goncangan dengan magnitudo 7,4 memicu terjadinya tsunami dan likuefaksi di Palu, Sigi, dan Donggala.
Besarnya jumlah korban dan kerugian menunjukkan fenomena geografis yang terjadi di Pulau Sulawesi tak bisa dianggap enteng. Siklus gempa terus berulang, sehingga mitigasi bencana dan tata ruang wilayah yang berpedoman pada kerentanan bencana akan menghindarkan jatuhnya korban jika gempa berkekuatan besar kembali mengguncang.
Frekuensi Gempa di Sulawesi
Pergerakan sesar aktif ini menghasilkan gempa bumi dengan frekuensi perulangan yang tinggi. Harian Kompas (01/02/2020) menulis, Palu dan Donggala telah lama diketahui sangat rentan gempa bumi. Analisis indeks kerentanan seismik Kota Palu yang diterbitkan Stasiun Geofisika Kelas I Palu dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu mengungkapkan, delapan kejadian gempa besar yang merusak terjadi di Palu dan sekitarnya dalam rentang waktu 1900-2014.
Mengutip tulisan ilmiah ahli tsunami Gegar Prasetya berjudul ‘The Makassar Strait Tsunamigenic Region, Indonesia’ (2001), harian Kompas menulis sebanyak 14 tsunami pernah terjadi di wilayah itu dari tahun 1820 sampai 1882. Sedangkan dari tahun 1927 sampai 2001 telah terjadi enam kali tsunami.
Sementara itu, Badan Meteorologi dan Geofisika mengungkapkan pemicu dari gempa yang terjadi di Majene, Sulawesi Barat adalah pergerakan sesar naik Mamuju-Majene. Kejadian ini menunjukkan dinamika tektonik pulau Sulawesi yang tinggi telah memicu frekuensi gempa terjadi dalam selang waktu yang singkat.
Kerentanan Kota
Sebagai negara yang terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire), fenomena gempa bumi, gunung meletus, gerak massa batuan (longsor) adalah hal yang biasa. Namun itu menjadi ancaman saat di wilayah bencana bertampalan dengan lokasi aktivitas manusia.
Pada posisi seperti itu, keberadaan manusia dianggap rentan karena fenomena-fenomena alam di atas kemudian dianggap sebagai sebuah bencana yang dapat menciptakan kerugian hingga korban jiwa.
Meski demikian, nenek moyang sejumlah bangsa Indonesia telah lama mempraktikkan hidup berdampingan dengan bencana. Warga suku Kaili yang merupakan penduduk asli Palu, misalnya telah paham bahwa daerah yang mereka tinggali rawan dengan bahaya tsunami dan likuefaksi. Mereka memilih tinggal di perbukitan dan tidak menghuhi daerah yang mereka sebut sebagai ‘nolodo’ yang berarti amblas dihisap lumpur (Detik.com, 07/10/2018).
Namun dalam sejarah perkembangan wilayah, Palu kemudian ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1964. Sejak saat itu pembangunan di wilayah pesisi kota Palu, Sigi, dan Donggala makin lama makin pesat. Kisah-kisah kearifan lokal masyarakat Kaili atau potensi bencana di wilayah itu mulai dilupakan.
Sebenarnya, perkembangan Kota Palu telah membuat ahli geologi legendaris Indonesia, JA Katili khawatir. Ia kerap menyampaikan ancaman yang mengintai warga kota itu sejak tahun 1970-an (Harianjogja.com, 11/10/2018).
Sering warga tidak mengetahui bahwa lokasi tempat tinggal dan aktifitasnya merupakan daerah yang rentan. Laporan harian Kompas berjudul ‘Mereka yang Tak Sadar Diintai Bencana’ yang terbit tanggal 27 Januari 2020 mengungkapkan banyak warga di Kota Palu yang tidak mengetahui lokasi tempat tinggalnya termasuk kawasan yang rentan gempa dan likuefaksi.
Kesimpulan
Posisi geografis Indonesia yang berada di wilayah rawan gempa harus menjadi kesadaran bagi seluruh penduduknya. Karena itu, mitigasi bencana perlu dilakukan disetiap tingkatan wilayah mulai dari lingkup RT hingga pemerntah pusat.
Informasi daerah rawan bencana seharusnya menjadi kewajiban permerintah pusat dan daerah. Informasi ini akan menunjukkan tingkat kerentanan bencana di setiap wilayah administrasi sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan warga agar lebih siap menghadapi bencana terutama gempa dengan magnitudo yang besar guna meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
Peristiwa gempa yang terjadi di berbagai daerah di Palu dan berbagai wilayah di Indonesia telah membuka wawasan bagi para pelajar untuk mengenal karakteristik geologis Indonesia. Pengetahuan tentang kondisi geologis ini dapat mendorong mereka untuk lebih waspada dan turut memberikan edukasi pada keluarga dan orang sekitar agar lebih bersiaga menghadapi bencana yang dapat terjadi di waktu yang tidak terduga.
Daftar Pustaka:
Baeda, A.Y., Husain, F. Kajian Potensi Tsunami Akibat Gempa Bumi Bawah Laut. Jurnal Teknik Sipil Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil, Vol. 19 No 1, April 2012: 75-81
Kholid, I. (2018, Oktober 7). Nenek Moyang Warga Palu Sudah Kenal Likuifaksi dengan Nama Nalodo. Detik. Diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-4245442/nenek-moyang-warga-palu-sudah-kenal-likuifaksi-dengan-nama-nalodo
Nurcahyo, N. (2018, Oktober 11). Long Form: Hancur Ditelan Likuifaksi. Palu Sudah Terlanjur Jadi Bubur. Harian ogja. Diakses dari: https://news.harianjogja.com/read/2018/10/11/500/945085/long-form-hancur-ditelan-likuifaksi-palu-sudah-telanjur-menjadi-bubur
Pakpahan, S. dkk. 2015. Analisis Kegempaan Di Zona Sesar Palu Koro. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No.3, Desember 2015: 253-264
Yogatama, B.K, Hianusa, K, Susilo, H. (2020, Februari 1). Kerentanan Palu yang Diabaikan. Kompas. Diakses dari: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/02/01/kerentanan-palu-yang-diabaikan
Yogatama, B.K, Hianusa, K, Susilo, H. (2020, Januari 27). Mereka yang Tak Sadar Diintai Bencana. Kompas. Diakses dari: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/01/27/mereka-yang-tak-sadar-diintai-bencana